keperawatan

keperawatan

Rabu, 28 Juli 2010

ASuHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN ANEMIA

ASuHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN ANEMIA



A. PENGERTIAN


Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit lebih rendah dari normal. Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah Hb dalam 1mm3 darah atau berkurangnya volume sel yang didapatkan (packed red cells volume) dalam 100 ml darah.






B. PENYEBAB ANEMIA


Anemia dapat dibedakan menurut mekanisme kelainan pembentukan, kerusakan atau kehilangan sel-sel darah merah serta penyebabnya. Penyebab anemia antara lain sebagai berikut:


1. Anemia pasca perdarahan : akibat perdarahan massif seperti kecelakaan, operasi dan persalinan dengan perdarahan atau perdarahan menahun:cacingan.


2. Anemia defisiensi: kekurangan bahan baku pembuat sel darah. Bisa karena intake kurang, absorbsi kurang, sintesis kurang, keperluan yang bertambah.


3. Anemia hemolitik: terjadi penghancuran eritrosit yang berlebihan. Karena faktor intrasel: talasemia, hemoglobinopatie,dll. Sedang factor ekstrasel: intoksikasi, infeksi –malaria, reaksi hemolitik transfusi darah.


4. Anemia aplastik disebabkan terhentinya pembuatan sel darah oleh sumsum tulang (kerusakan sumsum tulang).


C. TANDA DAN GEJALA


1. Tanda-tanda umum anemia:


a. pucat,


b. tacicardi,


c. bising sistolik anorganik,


d. bising karotis,


e. pembesaran jantung.


2. Manifestasi khusus pada anemia:


a. Anemia aplastik: ptekie, ekimosis, epistaksis, ulserasi oral, infeksi bakteri, demam, anemis, pucat, lelah, takikardi.


b. Anemia defisiensi: konjungtiva pucat (Hb 6-10 gr/dl), telapak tangan pucat (Hb < 8 gr/dl), iritabilitas, anoreksia, takikardi, murmur sistolik, letargi, tidur meningkat, kehilangan minat bermain atau aktivitas bermain. Anak tampak lemas, sering berdebar-debar, lekas lelah, pucat, sakit kepala, anak tak tampak sakit, tampak pucat pada mukosa bibir, farink,telapak tangan dan dasar kuku. Jantung agak membesar dan terdengar bising sistolik yang fungsional.


c. Anemia aplastik : ikterus, hepatosplenomegali.


D. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Kadar Hb.


Kadar Hb <10g/dl. Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata < 32% (normal: 32-37%), leukosit dan trombosit normal, serum iron merendah, iron binding capacity meningkat.


2. Kelainan laborat sederhana untuk masing-masing tipe anemia :


a. Anemia defisiensi asam folat : makro/megalositosis


b. Anemia hemolitik : retikulosit meninggi, bilirubin indirek dan total naik, urobilinuria.


c. Anemia aplastik : trombositopeni, granulositopeni, pansitopenia, sel patologik darah tepi ditemukan pada anemia aplastik karena keganasan.


E. PENATALAKSANAAN


a. Anemia pasca perdarahan: transfusi darah. Pilihan kedua: plasma ekspander atau plasma substitute. Pada keadaan darurat bisa diberikan infus IV apa saja.


b. Anemia defisiensi: makanan adekuat, diberikan SF 3x10mg/kg BB/hari. Transfusi darah hanya diberikan pada Hb <5 gr/dl.


c. Anemia aplastik: prednison dan testosteron, transfusi darah, pengobatan infeksi sekunder, makanan dan istirahat.



F. MASALAH KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL


1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan berkurangnya komparten seluler yang penting untuk menghantarkan oksigen / zat nutrisi ke sel.


2. Tidak toleransi terhadap aktivitas berhubungan dengan tidak seimbangnya kebutuhan pemakaian dan suplai oksigen.


3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya selera makan.






G. TINDAKAN KEPERAWATAN


1. Perfusi jaringan adekuat


- Memonitor tanda tanda vital, pengisian kapiler, wama kulit, membran mukosa.


- Meninggikan posisi kepala di tempat tidur


- Memeriksa dan mendokumentasikan adanya rasa nyeri.


- Observasi adanya keterlambatan respon verbal, kebingungan, atau gelisah


- Mengobservasi dan mendokumentasikan adanya rasa dingin.


- Mempertahankan suhu lingkungan agar tetap hangat sesuai kebu-tuhan tubuh.


- Memberikan oksigen sesuai kebutuhan.


2. Mendukung anak tetap toleran terhadap aktivitas


- Menilai kemampuan anak dalam melakukan aktivitas sesuai dengan kondisi fisik dan tugas perkembangan anak.


- Memonitor tanda tanda vital selama dan setelah melakukan aktivitas, dan mencatat adanya respon fisiologis terhadap aktivitas (peningkatan denyut jantung peningkatan tekanan darah, atau nafas cepat).


- Memberikan informasi kepada pasien atau keluarga untuk berhenti melakukan aktivitas jika teladi gejala gejala peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, nafas cepat, pusing atau kelelahan).


- Berikan dukungan kepada anak untuk melakukan kegiatan sehari¬ hari sesuai dengan kemampuan anak.


- Mengajarkan kepada orang tua teknik memberikan reinforcement terhadap partisipasi anak di rumah.


- Membuat jadual aktivitas bersama anak dan keluarga dengan melibatkan tim kesehatan lain.


- Menjelaskan dan memberikan rekomendasi kepada sekolah tentang kemampuan anak dalam melakukan aktivitas, memonitor kemam-puan melakukan aktivitas secara berkala dan menjelaskan kepada orang tua dan sekolah.


3. Memenuhi kebutuhan nutrisi yang adekuat


- Mengijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.


- Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi.


- Mengijinkan anak untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan


- Mengevaluasi berat badan anak setiap hari.


DAFTAR PUSTAKa

1. Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta, EGC.


2. Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. Jakarta, CV Sagung Seto.


3. Tucker SM. (1997). Standar Perawatan Pasien. Edisi V. Jakarta, EGC.


4. Smeltzer, Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta, EGC.


5. FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Jakarta, FKUI.


6. Harlatt, Petit. (1997). Kapita Selekta Hematologi. Edisi 2. Jakarta, EGC.


7. ACS. (2003). What is Anemia ?. Available (online) http: // www // yahoo / nurse / leucemia / htm.


ASKEP ANAK DENGAN MENINGITIS

ASKEP ANAK DENGAN MENINGITIS



MENINGITIS


Suatu peradangan akut pada selaput otak yang diakibatkan oleh
Bakteri  dan Virus
Meningitis Bakteri 90 % kasus terjadi pada


anak umur 1 bln - 5 th


MENINGITIS BAKTERI


Etiologi :


 H. influenza ( type B )


 Streptokokus pneumonie


 Neisseria meningitides ( meningococus)


  Hemolytic streptococcus


 Stapilococus aureus


 Escherecia coli


Faktok Predisposisi


 Laki-laki > perempuan


 Faktor maternal


- ketuban pecah dini


- Infeksi maternal pada akhir kehamilan  meningitis pada neonatus


 Penurunan mekanisme immune dan penurunan leukosit  meningitis pada BBL


 Anak dengan kekurangan imunoglobulin dan anak yang minum obat imunosupresant


MANIFESTASI KLINIS


 Tergantung pada luasnya penyebaran dan umur anak


 Dipengaruhi oleh type dari organisme keefektifan dari terapi


CHILDREN AND ADOLESCENT


 Sakitnya tiba-tiba, adanya demam, sakit kepala, panas dingin, muntah, kejang-kejang


 Anak menjadi irritable dan agitasi dan dapat berkembang photopobia, delirium, halusinasi, tingkah laku yang agresif atau mengantuk stupor dan koma


 Gejala pada respiratory atau gastrointestinal


 Adanya tahanan pada kepala jika difleksikan


 Kekakuan pada leher (Nuchal Rigidity)


 Tanda kernig dan brudzinki (+)


 Kulit dingin dan sianosis


 Peteki/adannya purpura pada kulit  infeksi meningococcus (meningo cocsemia)


 Keluarnya cairan dari telinga  meningitis peneumococal


 Congenital dermal sinus  infeksi E. Colli


INFANT AND CHILDREN


 Manifestasi klinisnya biasanya tampak pada anak umur 3 bulan sampai 2 tahun


 Adanya demam, nafsu makan menurun, muntah, iritabel, mudah lelah dan kejang-kejang, dan menangis meraung-raung.


 Fontanel menonjol


 Nuchal Rigidity  tanda-tanda brudzinki dan kernig dapat terjadi namun lambat


NEONATUS


 Sukar untuk diketahui  manifestasinya tidak jelas dan tidak spesifik


 ada kemiripan dengan anak yang lebih tua, seperti:


 Menolak untuk makan


 Kemampuan menelan buruk


 Muntah dan kadang-kadang ada diare


 Tonus otot lemah, pergerakan melemah dan kekuatan menangis melemah


 Hypothermia/demam, joundice, iritabel, mengantuk, kejang-kejang, RR yang tidak teratur/apnoe, sianosis dan kehilangan BB.


 Ketegangan , fontanel menonjol mungkin ada atau tidak


 Leher fleksibel


 Kolaps kardiovaskuler, kejang-kejang dan apnoe terjadi bila tidak diobati/ditangani


KOMPLIKASI


 Dapat dikurangi dikurangi dengan diagnosis yang awal dan pemberian terapi antimikrobial dengan cepat.


 Bila infeksi meluas ke ventrikel, pus yang banyak (kental), adanya penekatan pada bagian yang sempit  obstruksi cairan cerebrospinal  hydrocephalus


 Perubahan yang dekstruktif ada pada kortex serebral dan adanya abses otak  infeksi langsung. Atau melalui penyebaran pembuluh darah.


 Ketulian, kebutaan, kelemahan/paralysis dari otot-otot wajah atau otot-otot yang lain pada kepala dan leher  penyebaran infeksi pada daerah syaraf cranial


 Kompl;ikasi yang serius biasanya diakibatkan oleh infeksi : meningococcal sepsis atau meningococcemia


 Syndrom water haouse-Friderichsen


 Overwhelming septic shock


 DIC


 Perdarahan


 Purpura


 SIADH, subdural effusion, kejang-kejang, edema serebral, herniasi dan hydrocephalus.


 Komplikasi post meningitis pada neonatus:


 Ventriculitis (yang menghasilkan kista, daerah yang dibatasi oleh akumulasi cairan dan tekanan pada otak)


 Gangguan yang menetap dan penglihatan, pendengaran dan kelemahan nervus yang lain


 Cerebral palsy, cacat mental, gangguan belajar, penurunan perhatian, gangguan hiperaktivitas dan adanya kejang.


 Hemiparesis dan quadriparesis  arthritis/thrombosis


EVALUASI DIAGNOSTIK


LUMBAL FUNKSI


 Cairannya diukur dan diambil sample untuk mendapatkan culture, gram stain, jumlah sel darah merah dan untuk mengetahui adanya glukosa dan protein


 Culture dan stain  mengidentifikasi organisme penyebab


 Jumlah sel darah merah meningkat


 Glukosa menurun


 Kensentrasi protein meningkat


 Culture darah


 Culture hidung dan tenggorokan


TERAPEUTIC MANAGEMENT


 Isolation precautions


 Pemberian terapi antimikroba


 Mempertahankan hidrasi yang optimum


 Mempertahankan ventilasi


 Mengurangi peningkatan TIK


 Management dari shock


 Mengontrol kejang


 Mengontrol temperatur pada ekstrimitas


 Koreksi anemia


 Perawatan dari komplikasi


PERHATIAN PERAWAT


 Melakukan precautions untuk melindungi anak dan orang laindari kemungkinan infeksi .


 Menjaga ruangan agar tidak bising dan menimpalkan stimulus lingkungan.


 Mencegah aktifitas yang menyebabkan nyeri/ meningkatkan ketidaknyamanan, seperti mengangkat kepala anak.


 Memberi dukungan pada keluarga


Berdiskusi dengan keluarga


Memberikan informasi tentang perkembang anak dan semua prosedur yang akan dilakukan.


DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. GANGGUAN RASA NYAMAN: NYERI BERHUBUNGAN DENGAN IRITASI MENINGEAL, BEDREST.






TUJUAN 1. : Tidak menunjukkan adanya tanda-tanda nyeri/iritasi meningeal.


KELUHAN : sakit kepala (-), fotophobia (-), tidak ada iritabilitas yang berlebihan.


HR dan RR normal, tanda kernig’s dan brudzinki (-)


INTERVENSI :


1. Kaji tingkat nyeri


2. Evaluasi indikator dari nyeri (ekspresi wajah, menangis, gerakan), lokasi, lamanya.


3. Lakukan tindakan untuk memberikan kenyamanan (seperti memberikan posisi yang nyaman, distraksi dan massage)


4. Kolaborasi pemberian analgetik


5. Ajarkan anak ( bila sudah besar ) untuk mencegah gerakkan yang meningkatkan TIK ( mis : Batuk, mengedan dll )


6. Batasi pengunjung






TUJUAN 2. : Menunjukkan tidak ada peningkatan TIK






Kriteria hasil : Tanda Tanda Vital dalam batas normal


Tidak ada iritabilitas


Tidak ada keluhan


INTERVENSI :


1. Kaji tanda-tanda peningkatan TIK tiap 1 – 2 jam


 Penurunan HR & RR, peningkatan TD


 Penurunan tingkat pada bayi


 Peningkatan LK pada bayi


 Fontanel menonjol


 Cengeng, perubahan pupil,  simetris, bengkak & melebar


 Sakit kepala & muntah


2. Elevasikan kepala 30 - 45 


3. Posisi kepala tegak & stabil


4. Menurunkan stimulasi lingkungan


5. Tawarkan kegiatan untuk meningkatkan kenyamanan


6. Batasi cairan






2. RISIKO TINGGI INJURI BERHUBUNGAN DENGAN


TUJUAN : Injuri tidak terjadi


Kriteria Hasil : Tidak ada luka selama dan sesudah serangan


Mengetahui dan mengatasi serangan sesegera mungkin


INTERVENSI :


1. Monitor frekuensi serangan


2. Pasang penghalang TT


3. Berikan mainan yang lembut


4. Sediakan suction & O 2 disamping tempat tidur


5. Jaga dan tetap tenang dalam serangan


6. Miringkan anak


7. Hindari barang – barang berbahaya






DAFTAR PUSTAKA






Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya, 1998
Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997.
Rahman M, Petunjuk Tentang Penyakit, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium, Kelompok Minat Penulisan Ilmiah Kedokteran Salemba, Jakarta, 1986.
Sacharian, Rosa M, Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta ,1993.
Sutjinigsih (1995), Tumbuh kembang Anak, Penerbit EGC, Jakarta.


ASKEP ANAK DENGAN ENCEPHALITIS

ASKEP ANAK DENGAN ENCEPHALITIS
PENGERTIAN


Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro organisme lain yang non purulent.
PATOGENESIS ENSEFALITIS


Virus masuk tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan saluran cerna.setelah masuk ke dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara:


 Setempat:virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ tertentu.


 Penyebaran hematogen primer:virus masuk ke dalam darah


Kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.


 Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di


Permukaan selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf.


Masa Prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremintas dan pucat .


Gejala lain berupa gelisah, iritabel, perubahan perilaku, gamgguan kesadaran, kejang.


Kadang-kadang disertai tanda Neurologis tokal berupa Afasia, Hemifaresis, Hemiplegia, Ataksia, Paralisis syaraf otak.


Penyebab Ensefalitis:


Penyebab terbanyak : adalah virus


Sering : - Herpes simplex


- Arbo virus


Jarang : - Entero virus


- Mumps


- Adeno virus


Post Infeksi : - Measles


- Influenza


- Varisella


Post Vaksinasi : - Pertusis


Ensefalitis supuratif akut :


Bakteri penyebab Esenfalitis adalah : Staphylococcusaureus, Streptokok, E.Coli, Mycobacterium dan T. Pallidum.


Ensefalitis virus:


Virus yang menimbulkan adalah virus R N A (Virus Parotitis) virus morbili,virus rabies,virus rubella,virus denque,virus polio,cockscakie A,B,Herpes Zoster,varisela,Herpes simpleks,variola.
Gejala-Gejala yang mungkin terjadi pada Ensefalitis :


- Panas badan meningkat ,photo fobi,sakit kepala ,muntah-muntah lethargy ,kadang disertai kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen.


- Anak tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai gangguan penglihatan ,pendengaran ,bicara dan kejang.


PENGKAJIAN


1. Identitas


Ensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur.


2. Keluhan utama


Panas badan meningkat, kejang, kesadaran menurun.


3. Riwayat penyakit sekarang


Mula-mula anak rewel ,gelisah ,muntah-muntah ,panas badan meningkat kurang lebih 1-4 hari , sakit kepala.


4. Riwayat penyakit dahulu


Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung,telinga dan tenggorokan.


5. Riwayat Kesehatan Keluarga


Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh : Herpes dll. Bakteri contoh : Staphylococcus Aureus,Streptococcus , E , Coli, dll.


6. Imunisasi


Kapan terakhir diberi imunisasi DTP


Karena ensefalitis dapat terjadi post imunisasi pertusis.


- Pertumbuhan dan Perkembangan

POLA-POLA FUNGSI KESEHATAN






Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat


Kebiasaan


sumber air yang dipergunakan dari PAM atau sumur ,kebiasaan buang air besar di WC,lingkungan penduduk yang berdesakan (daerah kumuh)


Status Ekonomi


Biasanya menyerang klien dengan status ekonomi rendah.
Pola Nutrisi dan Metabolisme


Menyepelekan anak yang sakit ,tanpa pengobatan yang semPemenuhan Nutrisi


Biasanya klien dengan gizi kurang asupan makana dan cairan dalam jumlah kurang dari kebutuhan tubuh.,


Pada pasien dengan Ensefalitis biasanya ditandai


Dengan adanya mual, muntah, kepalah pusing, kelelahan.


Status Gizi yang berhubungan dengan keadaan tubuh.


Postur tubuh biasanya kurus ,rambut merah karena kekurangan vitamin A, berat badan kurang dari normal.


Menurutrumus dari BEHARMAN tahun 1992, umur 1 sampai 6 tahun


Umur (dalam tahun) x 2 + 8


Tinggi badan menurut BEHARMAN umur 4 sampai 2 x tinggi badan lahir.


Perkembangan badan biasanya kurang karena asupan makanan yang bergizi kurang.


Pengetahuan tentang nutrisi biasanya pada orang tua anak yang kurang pengetahuan tentang nutrisi.


Yang dikatakan gizi kurang bila berat badan kurang dari 70% berat badan normal.


Pola Eliminasi


Kebiasaan Defekasi sehari-hari


Biasanya pada pasien Ensefalitis karena pasien tidak dapat melakukan mobilisasi maka dapat terjadi obstipasi.


Kebiasaan Miksi sehari-hari


Biasanya pada pasien Ensefalitis kebiasaan mictie normal frekuensi normal.


Jika kebutuhan cairan terpenuhi.


Jika terjadi gangguan kebutuhan cairan maka produksi irine akan menurun, konsentrasi urine pekat.






Pola tidur dan istirahat


Biasanya pola tidur dan istirahat pada pasien Ensefalitis biasanya tidak dapat dievaluasi karena pasien sering mengalami apatis sampai koma.

Pola Aktivitas


a. Aktivitas sehari-hari : klien biasanya terjadi gangguan karena bx Ensefalitis dengan gizi buruk mengalami kelemahan.


b. Kebutuhan gerak dan latihan : bila terjadi kelemahan maka latihan gerak dilakukan latihan positif.


Upaya pergerakan sendi : bila terjadi atropi otot pada px gizi buruk maka dilakukan latihan pasif sesuai ROM


Kekuatan otot berkurang karena px Ensefalitisdengan gizi buruk .


Kesulitan yang dihadapi bila terjadi komplikasi ke jantung ,ginjal ,mudah terkena infeksi ane


berat,aktifitas togosit turun ,Hb turun ,punurunan kadar albumin serum, gangguan pertumbuhan.
Pola Hubungan Dengan Peran


Interaksi dengan keluarga / orang lain biasanya pada klien dengan Ensefalitis kurang karena kesadaran klien menurun mulai dari apatis sampai koma.


Pola Persepsi dan pola diri


Pada klien Ensenfalitis umur > 4 ,pada persepsi dan konsep diri


Yang meliputi Body Image ,seef Esteem ,identitas deffusion deper somalisasi belum bisa menunjukkan perubahan.


Pola sensori dan kuanitif


a. Sensori


- Daya penciuman


- Daya rasa


- Daya raba


- Daya penglihatan


- Daya pendengaran.


b. Kognitif :
Pola Reproduksi Seksual


Bila anak laki-laki apakah testis sudah turun ,fimosis tidak ada.
Pola penanggulangan Stress


Pada pasien Ensefalitis karena terjadi gangguan kesadaran :


- Stress fisiologi  biasanya anak hanya dapat mengeluarkan air mata saja ,tidak bisa menangis dengan keras (rewel) karena terjadi afasia.


- Stress Psikologi tidak di evaluasi.


Pola Tata Nilai dan Kepercayaan


Anak umur 3-4 tahun belumbisa dikaji


PEMERIKSAAN LABORATORIUM / PEMERIKSAAN PENUNJANG


Gambaran cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan meskipun tidak begitu membantu. Biasanya berwarna jernih ,jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfasit. Kadar protein kadang-kadang meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal.
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktifitas lambat bilateral).Bila terdapat tanda klinis flokal yang ditunjang dengan gambaran EEG atau CT scan dapat dilakukan biopal otak di daerah yang bersangkutan. Bila tidak ada tanda klinis flokal, biopsy dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes Simplex.
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING TERJADI


1. Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan terhadap infeksi turun.


2. Resiko tinggi perubahan peR/usi jaringan b/d Hepofalemia, anemia.


3. Resiko tinggi terhadap trauma b/d aktivitas kejang umu.


4. Nyeri b/d adanya proses infeksi yang ditandai dengan anak menangis, gelisah.


5. Gangguan mobilitas b/d penurunan kekuatan otot yang ditandai dengan ROM terbatas.


6. Gangguan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah.


7. Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan susunan saraf pusat.


8. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan sakit kepala mual.


9. Resiko gangguan integritas kulit b/d daya pertahanan tubuh terhadap infeksi turun.


10. Resiko terjadi kontraktur b/d spastik berulang.


DIAGNOSA KEPERAWATAN I.


Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan tubuh terhadap infeksi turun


Tujuan:


- tidak terjadi infeksi


Kriteria hasil:


- Masa penyembuhan tepat waktu tanpa bukti penyebaran infeksi endogen


Intervensi


1. Pertahanan teknik aseptic dan teknik cuci tangan yang tepat baik petugas atau pengunmjung. Pantau dan batasi pengunjung.


R/. menurunkan resiko px terkena infeksi sekunder . mengontrol penyebaran Sumber infeksi, mencegah pemajaran pada individu yang mengalami nfeksi saluran nafas atas.


2. Abs. suhu secara teratur dan tanda-tanda klinis dari infeksi.


R/. Deteksi dini tanda-tanda infeksi merupakan indikasi perkembangan Meningkosamia .


3. Berikan antibiotika sesuai indikasi


R/. Obat yang dipilih tergantung tipe infeksi dan sensitivitas individu.






DIAGNOSA KEPERAWATAN II
Resiko tinggi terhadap trauma b/d aktivitas kejang umum


Tujuan :


- Tidak terjadi trauma






Kriteria hasil :


- Tidak mengalami kejang / penyerta cedera lain
Intervensi :


1. Berikan pengamanan pada pasien dengan memberi bantalan,penghalang tempat tidur tetapn terpasang dan berikan pengganjal pada mulut, jalan nafas tetap bebas.


R/. Melindungi px jika terjadi kejang , pengganjal mulut agak lidah tidak tergigit.


Catatan: memasukkan pengganjal mulut hanya saat mulut relaksasi.


2. Pertahankan tirah baring dalam fase akut.


R/. Menurunkan resiko terjatuh / trauma saat terjadi vertigo.


3. Kolaborasi.


Berikan obat sesuai indikasi seperti delantin, valum dsb.


R/. Merupakan indikasi untuk penanganan dan pencegahan kejang.


4. Abservasi tanda-tanda vital


R/. Deteksi diri terjadi kejang agak dapat dilakukan tindakan lanjutan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN III


Resiko terjadi kontraktur b/d kejang spastik berulang
Tujuan :


- Tidak terjadi kontraktur


Ktiteria hasil :


- Tidak terjadi kekakuan sendi


- Dapat menggerakkan anggota tubuh






Intervensi






1. Berikan penjelasan pada ibu klien tentang penyebab terjadinya spastik , terjadi kekacauan sendi.


R/ . Dengan diberi penjelasan diharapkan keluarga mengerti dan mau membantu program perawatan .


2. Lakukan latihan pasif mulai ujung ruas jari secara bertahap


R/ Melatih melemaskan otot-otot, mencegah kontraktor.


3. Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam


R/ Dengan melakukan perubahan posisi diharapkan peR/usi ke jaringan lancar, meningkatkan daya pertahanan tubuh .


4. Observasi gejala kaerdinal setiap 3 jam


R/ Dengan melakukan observasi dapat melakukan deteksi dini bila ada kelainan dapat dilakukan inteR/ensi segera


5. Kolaborasi untuk pemberian pengobatan spastik dilantin / valium sesuai Indikasi


R/ Diberi dilantin / valium ,bila terjadi kejang spastik ulang




DAFTAR PUSTAKA






Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya, 1998






Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997.






Rahman M, Petunjuk Tentang Penyakit, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium, Kelompok Minat Penulisan Ilmiah Kedokteran Salemba, Jakarta, 1986.






Sacharian, Rosa M, Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta ,1993.






Sutjinigsih (1995), Tumbuh kembang Anak, Penerbit EGC, Jakarta.


ACUTE NONLYMPHOID (MYELOGENOUS) LEUKEMIA

A. Definisi



Acute Nonlymphoid (myelogenous) Leukemia (ANLL atau AML) adalah salah satu jenis leukemia; dimana terjadi proliferasi neoplastik dari sel mieloid (ditemukannnya sel mieloid : granulosit, monosit imatur yang berlebihan). (1,2) AML meliputi leukemia mieloblastik akut, leukemia monoblastik akut, leukemia mielositik akut, leukemia monomieloblastik, dan leukemia granulositik akut (1)






B. Penyebab


Seperti halnya leukemia jenis ALL (Acute Lymphoid Leukemia), etiologi AML sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, diduga karena virus (virus onkogenik). Faktor lain yang turut berperan adalah :


1. Faktor endogen


Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom (resiko terkena AML meningkat pada anak yang terkena Down Sindrom), herediter (kadang-kadang dijumpai kasus leukemia pada kakak beradik atau kembar satu telur).


2. Faktor eksogen


Seperti sinar X, sinar radioaktif, hormon, bahan kimia (Benzol, Arsen, preparat Sulfat), infeksi (virus, bakteri).






C. Tanda dan Gejala


1. Hipertrofi ginggiva


2. Kloroma spinal (lesi massa)


3. Lesi nekrotik atau ulserosa perirekal


4. Hepatomegali dan splenomegali (pada kurang lebih 50% anak)


5. Manifestasi klinik seperti ALL , yaitu


a. Bukti anemia, perdarahan, dan infeksi : demam, letih, pucat, anoreksia, petekia dan perdarahan, nyeri sendi dan tulang, nyeri abdomen yang tidak jelas, berat badan menurun, pembesaran dan fibrosis organ-organ sistem retikuloendotelial (hati , limpa, dan limfonodus)


b. Peningkatan tekanan intrakranial karena infiltrasi meninges : nyeri dan kaku kuduk, sakit kepala, iritabilitas, letargi, muntah, edema papil, koma.


c. Gejala-gejala sistem saraf pusat yang berhubungan dengan bagian sistem yang terkena; kelemahan ekstremitas bawah, kesulitan berkemih, kesulitan belajar, khususnya matematika dan hafalan (efek samping lanjut dari terapi).






D. Patofisiologi dan Pathways


Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat cepat. Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur sesuai kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel tersebut terganggu, sel akan membelah diri sampai ke tingkat sel yang membahayakan (proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik dapat terjadi karena kerusakan sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun herediter.


Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam sumsum tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai organ limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih yang dibentuk dalam sumsum tulang, khususnya granulosit, disimpan dalam sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi. Bila terjadi kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan kimia, maka akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan imatur. Pada kasus AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel mielogen muda (bentuk dini neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum tulang dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh sehingga sel-sel darah putih dibentuk pada banyak organ ekstra medula.


Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat diterangkan sebagai berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak mekanisme proliferasi. Seandainya struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan ditolaknya. Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh atau HL-A (Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A diturunkan menurut hukum genetik, sehingga etiologi leukemia sangat erat kaitannya dengan faktor herediter.


Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah yang lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses metabolisme (terjadi granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga menginvasi tulang di sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan cenderung mudah patah tulang. Proliferasi sel leukemia dalam organ mengakibatkan gejala tambahan : nyeri akibat pembesaran limpa atau hati, masalah kelenjar limfa; sakit kepala atau muntah akibat leukemia meningeal.


E. Komplikasi


1. Gagal sumsum tulang


2. Infeksi


3. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID/DIC)


4. Splenomegali


5. Hepatomegali


F. Pemeriksaan Diagnostik


1. Hitung darah lengkap (CBC). Anak dengan CBC kurang dari 10.000/mm3 saat didiagnosis, memiliki prognosis paling baik. Jumlah leukosit lebih dari 50.000/mm3 adalah tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur.


2. Pungsi lumbal, untuk mengkaji keterlibatan SSP.


3. Foto thoraks, untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum


4. Aspirasi sumsum tulang, ditemuakannya 25% sel blast memperkuat diagnosis.


5. Pemindaian tulang atau survei kerangka, mengkaji keterlibatan tulang.


6. Pemindaian ginjal, hati, dan limpa, mengkaji infiltrat leukemik


7. Jumlah trombosit, menunjukkan kapasitas pembekuan.


G. Penatalaksanaan


Protokol pengobatan bervariasi sesuai jenis leukemia dan jenis obat yang diberikan pada anak. Proses remisi induksi pada anak terdiri dari tiga fase : induksi, konsolidasi, dan rumatan. Selama fase induksi (kira-kira 3 sampai 6 minggu) anak menerima berbagai agens kemoterapi untuk menimbulkan remisi. Periode intensif diperpanjang 2-3 minggu selama fase konsolidasi untuk memberantas keterlibatan sistem syaraf pusat dan oragan vital lain. Terapi rumatan diberikan selama beberapa tahun setelah diagnosis untuk memperpanjang remisi. Beberapa obat yang dipakai untuk leukemia anak-anak adalah prednison, vinkristin, asparaginase, metrotreksat, merkaptopurin, sitarabin, alopurinol, siklofosfamid, dan daunorubisin.


Pengkajian Keperawatan


1. Kaji adanya manifestasi klinik AML (kelelahan, nyeri, pucat, anoreksi, perdarahan, penurunan berat badan, letargi, hipertropi ginggiva, ulserosa perirektal, dll)


2. Kaji reaksi anak terhadap kemoterapi : diare, anoreksia, mual, muntah, retensi cairan, hiperuremia, demam, stomatitis, ulkus mulut, alopesia, nyeri, dll


3. Kaji adanya tanda dan gejala infeksi : peningkatan leukosit, demam, peningkatan LED


4. Kaji adanya tanda dan gejala hemoragi


5. Kaji adanya tanda dan gejala komplikasi : somnolens radiasi, gejala SSP, lisis sel.


6. Kaji koping anak dan keluarga.


H. Diagnosa Keperawatan


1. Intoleransi aktivitas


2. Resiko tinggi infeksi


3. Kelebihan volume cairan


4. Kerusakan integritas jaringan


5. Resiko tinggi perubahan nutrisi


6. Resiko tinggi cedera


7. Gangguan citra diri


8. Ansietas


9. Resiko tinggi penurunan curah jantung


10. Resiko tinggi keletihan


11. Resiko tinggi perubahan pertumbuhan dan perkembangan


12. Resiko tinggi perubahan proses keluarga


13. Resiko tinggi penatalaksanaan aturan pengobatan yang tidak efektif




I. Intervensi Keperawatan


1. Pantau anak untuk mengetahui reaksi terhadap pengobatan


2. Pantau adanya tanda dan gejala infeksi :


a. Waspadai bahwa demam adalah tanda yang terpenting dari infeksi


b. Obati semua anak seakan-akan mereka semua menderita neutropeni sampai diperoleh hasil test. Isolasi mereka dari pasien klinik lainnya, terutama anak-anak dengan penyakit infeksi, khususnya varisela.


c. Minta anak tersebut memakai masker bila bersama dengan orang lain dan bila menderita neutropeni berat ( leukosit kurang dari 1000/mm3).


d. Waspadai bahwa jika seorang anak menderita neutropeni, ia tidak boleh menjalani kemoterapi. Anak tsb dapat menerima antibiotik Ivjika demam juga terjadi (lebih banyak pasien yang meninggal karena infeksi daripada karena penyakitnya).


3. Pantau adanya tanda dan gejala hemoragi


a. Periksa adanya memar dan petekia pada kulit


b. Periksa danya mimisan dan gusi berdarah


c. Jika diberi suntikan, tekan bekas tusukan lebih lama dari biasanya (kira-kira 3-5 menit) untuk memastikan perdarahan telah berhenti. Perikas lagi untuk memastikan bahwa tidak ada perdarahan lagi.


4. Pantau adanya tanda gejala komplikasi


a. Somnolens radiasi : dimulai 6 minggu setelah menerima radiasi kraniospinal, anak menunjukkan keletihan berat dan anoreksia selama kira-kira 1-3 minggu. Orang tua sering kali mersa khawatir tentang terjadinya kambuhan pada saat ini dan perlu untuk diyakinkan.


b. Gejala SSP : sakit kepala, penglihatan kabur atau ganda, muntah. Gejala-gejala tersebut dapat mengindikasikan keterlibatan SSP.


c. Gejala pernafasan : batuk, kongesti paru, dispnea. Gejala-gejala tersebut mengindikasikan adanya pneumositis atau infeksi pernafasan lainnya.


d. Lisis sel : lisis sel yang cepat setelah kemoterapi dapat mempengaruhi kimia darah, mengakibatkan peningkatan Kalsium dan Kalium.






5. pantau adanya kekhawatiran dan ansietas tentang diagnosis kanker dan hubungannya dengan pengobatan; pantau respon emosional seperti marah, menyangkal, kesedihan


6. Pantau adanya gangguan dalam fungsi keluarga


a. Dasar semua intervensi pada latar belakang budaya, agama pendidikan, dan sosial ekonomi keluarga


b. Libatkan saudara kandung sebanyak mungkin dalam perawatan karena mereka sangat prihatin terhadap perubahan yang terjadi pada anak yang sakit dan fungsi keluarga


c. Pertimbangkan kemungkinan bahwa saudara kandung merasa bersalah dan disalahkan


d. Tingkatkan keutuhan keluarga dengan memberi kebebasan jam kunjung selama 24 jam bagi semua anggota keluarga.






J. Hasil yang Diharapkan


1. Anak mencapai remisi


2. Anak bebas dari komplikasi penyakit


3. Anak dan keluarga mempelajari tentang koping yang efektif untuk menghadapi hidup dan penatalaksanaan penyakit tersebut.




DAFTAR PUSTAKA






1. Whaley’s and Wong. Essential of Pediatric Nursing. Sixth Edition. USA : Mosby. 2000.


2. Betz, CL & Sowden, LA. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta : EGC. 2002.


3. Whaley’s and Wong. Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA : Mosby. 2001.


4. Joyce Engel. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC. 1999


5. Brunner& Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2. Jakarta : EGC. 2002.


6. Guyton. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta : EGC. 1995


askep ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA




A. PENGERTIAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Acut limphosityc leukemia adalah proliferasi maligna / ganas limphoblast dalam sumsum tulang yang disebabkan oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Tucker, 1997; Reeves & Lockart, 2002).


B. PENYEBAB ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Penyebab acut limphosityc leukemia sampai saat ini belum jelas, diduga kemungkinan karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu:

1. Faktor eksogen

a. Sinar x, sinar radioaktif.

b. Hormon.

c. Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic agent).

2. Faktor endogen

a. Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam)

b. Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down).

c. Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur).

(Ngastiyah, 1997)



C. PATOFISIOLOGI ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).



D. TANDA DAN GEJALA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain:

1. Pilek tak sembuh-sembuh

2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi

3. Demam, anoreksia, mual, muntah

4. Berat badan menurun

5. Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab

6. Nyeri tulang dan persendian

7. Nyeri abdomen

8. Hepatosplenomegali, limfadenopati

9. Abnormalitas WBC

10. Nyeri kepala




E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia adalah:

1. Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction):

a. Ditemukan sel blast yang berlebihan

b. Peningkatan protein

2. Pemeriksaan darah tepi

a. Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia)

b. Peningkatan asam urat serum

c. Peningkatan tembaga (Cu) serum

d. Penurunan kadar Zink (Zn)

e. Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 – 200.000 / µl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif

3. Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut

4. Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum

5. Sitogenik:

50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa:

a. Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a)

b. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection)

c. Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil


F. PENGOBATAN PADA ALL

1. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberi¬kan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda tanda DIC dapat dibe¬rikan heparin.

2. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhir¬nya dihentikan.

3. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6 merkaptopurin atau 6 mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriami¬sin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama sama dengan prednison. Pada pemberian obat obatan ini sering terdapat akibat samping beru¬pa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.

4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).

5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah ter¬capai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyunti¬kan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.

6. Cara pengobatan.

Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalaman¬nya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:

a. Induksi

Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berba¬gai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sam¬pai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.

b. Konsolidasi

Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.

c. Rumat (maintenance)

Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.

d. Reinduksi

Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3 6 bulan dengan pemberian obat obat seperti pada induksi se-lama 10 14 hari.

e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.

Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400¬2.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia sereb¬ral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.

f. Pengobatan imunologik

Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna.

(FKUI, 1985)


g. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Adanya keganasan menimbulkan masalah keperawatan, antara lain:

1. Intoleransi aktivitas

2. Resiko tinggi infeksi

3. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuahn

4. Resiko cedera (perdarahan)

5. Resiko kerusakan integritas kulit

6. Nyeri

7. Resiko kekurangan volume cairan

8. Berduka

9. Kurang pengetahuan

10. Perubahan proses keluarga

11. Gangguan citra diri / gambaran diri



I. PERAWATAN PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

1. Mengatasi keletihan / intoleransi aktivitas:

a. Kaji adanya tanda-tanda anemia: pucat, peka rangsang, cepat lelah, kadar Hb rendah.

b. Pantau hitung darah lengkap dan hitung jenis

c. Berikan cukup istirahat dan tidur tanpa gangguan

d. Minimalkan kegelisahan dan anjurkan bermain yang tenang

e. Bantu pasien dalam aktivitas sehari-hari

f. Pantau frekuensi nadi, prnafasan, sebelum dan selama aktivitas

g. Ketika kondisi membaik, dorong aktivitas sesuai toleransi

h. Jika diprogramkan, berikan packed RBC

2. Mencegah terjadinya infeksi

a. Observasi adanya tanda-tanda infeksi, pantau suhu badan laporkan jika suhu > 38oC yang berlangsung > 24 jam, menggigil dan nadi > 100 x / menit.

b. Sadari bahwa ketika hitung neutrofil menurun (neutropenia), resiko infeksi meningkat, maka:

1). Tampatkan pasien dalam ruangan khusus

2). Sebelum merawat pasien: cuci tangan dan memakai pakaian pelindung, masker dan sarung tangan.

3). Cegah komtak dengan individu yang terinfeksi

c. Jaga lingkungan tetap bersih, batasi tindakan invasif

d. Bantu ambulasi jika mungkin (membalik, batuk, nafas dalam)

e. Lakukan higiene oral dan perawatan perineal secara sering.

f. Pantau masukan dan haluaran serta pertahankan hidarasi yang adekuat dengan minum 3 liter / hari

g. Berika terapi antibiotik dan tranfusi granulosit jika diprogramkan

h. Yakinkan pemberian makanan yang bergizi.

3. Mencegah cidera (perdarahan)

a. Observasi adanya tanda-tanda perdarahan dengan inspeksi kulit, mulut, hidung, urine, feses, muntahan, dan lokasi infus.

b. Pantau tanda vital dan nilai trombosit

c. Hindari injesi intravena dan intramuskuler seminimal mungkin dan tekan 5-10 menit setiap kali menyuntik

d. Gunakan sikat gigi yang lebut dan lunak

e. Hindari pengambilan temperatur rektal, pengobatan rekatl dan enema

f. Hindari aktivitas yang dapat menyebabkan cidera fisik atau mainan yang dapat melukai kulit.

4. Memberikan nutrisi yang adekuat

a. Kaji jumlah makanan dan cairan yang ditoleransi pasien

b. Berikan kebersihan oral sebelum dan sesudah makan

c. Hindari bau, parfum, tindakan yang tidak menyenangkan, gangguan pandangan dan bunyi

d. Ubah pola makan, berikan makanan ringan dan sering, libatkan pasien dalam memilih makanan yang bergizi tinggi, timbang BB tiap hari

e. Sajikan makanan dalam suhu dingin / hangat

f. Pantau masukan makanan, bila jumlah kurang berikan ciran parenteral dan NPT yang diprogramkan.



5. Mencegah kekurangan cairan

a. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi

b. Berikan antiemetik awal sebelum pemberian kemoterapi

c. Hindari pemberian makanan dan minuman yang baunya merangngsang mual / muntah

d. Anjurkan minum dalam porsi kecil dan sering

e. Kolaborasi pemberian cairan parenteral untuk mempertahankan hidrasi sesuai indikasi

6. Antisipasi berduka

a. Kaji tahapan berduka oada anak dan keluarga

b. Berikan dukungan pada respon adaptif dan rubah respon maladaptif

c. Luangkan waktu bersama anak untuk memberi kesempatan express feeling

d. Fasilitasi express feeling melalui permainan

7. Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang:

a. Proses penyakit leukemia: gejala, pentingnya pengobatan / perawatan.

b. Komplikasi penyakit leukemia: perdarahan, infeksi dll.

c. Aktivitas dan latihan sesuai toleransi

d. Mengatasi kecemasan

e. Pemberian nutrisi

f. Pengobatan dan efek samping pengobatan

8. Meningkatkan peran keluarga

a. Jelaskan alasan dilakukannya setiap prosedur pengobatan / dianostik

b. Jadwalkan waktu bagi keluarga bersama anak tanpa diganggu oleh staf SR

c. Dorong keluarga untuk express feelings

d. Libatkan keluarga dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan si anak

9. Mencegah gangguan citra diri / gambaran diri

a. Dorong pasien untuk express feelings tentang dirinya

b. Berikan informasi yang mendukung pasien ( misal; rambut akan tumbuh kembali, berat badan akan kembali naik jika terapi selesai dll.)

c. Dukung interaksi sosial / peer group

d. Sarankan pemakaian wig, topi / penutup kepala.



DAFTAR PUSTAKA



1. Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta, EGC.

2. Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. Jakarta, CV Sagung Seto.

3. Reeeves, Lockart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Cetakan I. Jakarta, Salemba Raya.

4. FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Jakarta, FKUI.

5. Sacharin Rosa M. (1993). Prinsip Perawatan Pediatri. Edisi 2. Jakarta : EGC.

6. Gale Danielle, Charette Jane. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, Jakarta : EGC.

7. Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart .(1995). Patofisiologi. Jakarta : EGC

8. Sutarni Nani.(2003). Prosedur Dan Cara Pemberian Obat Kemoterapi. Disampaikan Pada Pelatihan Kemoterapi Di RS Kariadi Semarang, Tanggal 13-15 November 2003.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN ANAK DENGAN THIPOID

A. PENGERTIAN



Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)


Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala, kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)






B. PENYEBAB


Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: perforasi usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)


Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997)






C. PATOFISIOLOGIS


Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier.


Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)


Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)


D.  GEJALA KLINIS


Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih, terdapat gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta suhu badan yang meningkat.


Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak kering, dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)


Sejalan dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan gambaran ‘anak tangga’. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi bertambah toksik. (Vanda Joss & Stephen Rose, 1997)


Gambaran klinik tifus abdominalis


Keluhan:


- Nyeri kepala (frontal) 100%


- Kurang enak di perut 50%


- Nyeri tulang, persendian, dan otot 50%


- Berak-berak 50%


- Muntah 50%


Gejala:


- Demam 100%


- Nyeri tekan perut 75%


- Bronkitis 75%


- Toksik 60%


- Letargik 60%


- Lidah tifus (“kotor”) 40%


(Sjamsuhidayat,1998)


E. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap


Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.


2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT


SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus


3. Pemeriksaan Uji Widal


Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu:


• Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri


• Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri


• Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakter.


Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita Demam Tifoid. (Widiastuti Samekto, 2001)






F. TERAPI


1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas


2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.


3. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)


4. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu


5. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari






6. Golongan Fluorokuinolon


• Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari


• Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari


• Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari


• Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari


• Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari


7. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001)






G. KOMPLIKASI


Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer & Suprohaitan 2000)


Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella. Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi pada hospes normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita hemoglobinopati. (Behrman Richard, 1992)














H. ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DEMAM TIPOID






A. PENGKAJIAN


1. Riwayat keperawatan


2. Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan kesadaran






B. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi


2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual, dan kembung


3. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh






C. PERENCANAAN


1. Mempertahankan suhu dalam batas normal


• Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia


• Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan


• Berri minum yang cukup


• Berikan kompres air biasa


• Lakukan tepid sponge (seka)


• Pakaian (baju) yang tipis dan menyerap keringat


• Pemberian obat antipireksia


• Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat






2. Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan


• Menilai status nutrisi anak


• Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.


• Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi


• Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering


• Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama


• Mempertahankan kebersihan mulut anak


• Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit


• Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika pemberian makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak






3. Mencegah kurangnya volume cairan


• Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit setiap 4 jam


• Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis, ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, memberan mukosa kering, bibir pecah-pecah


• Mengobservasi dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama


• Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam


• Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (Insensible Water Loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge


• Memberikan antibiotik sesuai program


(Suriadi & Rita Y, 2001)














I. DISCHARGE PLANNING


1. Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi


2. Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari untuk mengelola makanan


3. Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman.


4. Penderita memerlukan istirahat


5. Diit lunak yang tidak merangsang dan rendah serat


(Samsuridjal D dan Heru S, 2003)


6. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak


7. Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping


8. Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala tersebut


9. Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan.


(Suriadi & Rita Y, 2001)










DAFTAR PUSTAKA






1. Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius. FKUI Jakarta. 2000.


2. Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke Tiga. FKUI. Jakarta. 1997.


3. Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar & Manulang. Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992.


4. Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian Kasus pada Pediatri. Alih bahasa Agnes Kartini. Hipokrates. Jakarta. 1997.


5. Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk. Buku Imunisasi Di Indonesia, edisi pertama. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2001.


6. Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta. 2003.


7. Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.


8. Soegeng Soegijanto. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba Medika. Jakarta. 2002.


9. Suriadi & Rita Yuliani. Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001.


10. Widiastuti Samekto. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2001.


11. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2005/02/03brk